Perbudakan hakikatnya menunjukkan “aku” dan “kamu”. Aku adalah diriku yang tinggi, dan kamu adalah mereka yang rendah. Ini adalah bentuk dialog iblis dengan Tuhan. Aku yang lebih tinggi dari manusia dihadapan Allah (Qs.[38]:75–76). Sebuah dialog tentang hakikat fana keakuan. Islam sebagai ajaran etik hadir dan berupaya memberikan reka ulang dalam hubungan antar manusia. Perbudakan dan proses humanisme coba untuk dieliminasi hingga batas optimal dan hilang perlahan.
Proses dinamika berkembangnya Islampun juga berlangsung dengan membawa sebuah pesan kesederajadan manusia di dalamnya. Bahwa manusia diciptakan sederajat di bawah naungan Tuhan. Ia dinaungi oleh cahaya Illahiah yang menjadikan setiap anak Adam diletakkan sejajar dalam dalam hak dan kewajiban selaku manusia.
Kesederajadan ini berkaitan dengan pembedaan status sosio kultural. Dalam arena sosio kultur pembedaan atas dasar warna kulit, ras, kesukuan menjadi hal yang umum terjadi. Islam saat itu hadir membawa sebuah gagasan baru berupa kesederajadan menurut ras, kesukuan, gender, dan beragam makna sosiokultur lainnya (Qs.[3]:195).
Nilai etika dan norma yang lama membedakan kedudukan setiap individu dalam sebuah struktur sosial diubah. Seorang budak hitam, Bilal bin Rabah dimerdekakan dan berkedudukan sederajad dengan kaum Bangsawan Quraisy, seperti Abu Bakar ra, Umar ibn Khattab ra, Utsman ibn Affan r.a., Ali ibn Abi Thalib r.a., dan bahkan ia lebih mulia dari Abu Lahab dan Abu Jahal. Norma dehumanisasi yang dibangun oleh kultur Jazirah Arab pra-Islam dicoba untuk diubah dengan bentuk yang baru.
Proses kesederajadan manusia dalam peran aktif sosio-kultural ini mengakibatkan begitu banyak kaum tertindas & terpinggirkan tertarik untuk berhimpun dalam ruang Islam. Kesederajadan dalam relasi sosial ini memberikan kesempatan yang besar bagi siapapun untuk berperan secara aktif. Masing-masing individu memberikan kontribusi aktif terhadap pembangunan manusia baik dalam relasi Ketuhanan maupun kemanusiaan.
Kitab Suci Qur’an sebagai The Book of God memberikan acuan normatif dan etika dalam perilaku setiap individu. Ia menjadi pedoman tata laku umum yang akan diderivasi dalam beragam norma-norma yang bersifat lokalitas sesuai kondisi dan ruang geografi setiap kelompok sosial.
Manusia yang sederajad hanya tunduk kepada Tuhannya. Ia dipersamakan dalam jalinan persaudaraan, kesetaraan dalam nilai-nilai kemanusiaan. Dalam keadaan ini, maka Tuhan berada dalam puncak hirarki, Dia yang disembah dan diagungkan, dan berkehendak terhadap apapun (Qs.[11]:4). Maka setiap jiwa manusia memahami bahwa totalitas penghambaan hanya kepada Tuhan itu sendiri. Penghambaan tidak kepada selainNya, bahkan kepada dunia (Qs.[9]:85). Kesemua manusia sederajad dalam ruang sosialnya.
Penghambaan hanya tertuju kepada Tuhan. Manusia juga semesta alam berada dalam kekuasaanNya. Proses penghambaan ini hakikatnya juga merupakan bentuk perbudakan batiniyah. Ia yang dulu diperbudak oleh manusia, kini ia hanya diperbudak oleh Tuhan (abd’ Allah). Keterbudakan ini membebaskan dirinya dari lingkup budak manusia menjadi semata budak Tuhan. Manusia yang hanya menghamba secara transenden kepada Allah semata. Ia tidak lagi diperbudak oleh manusia.
Hal mendasar yang terjadi adalah ketergantungan totalitas dalam proses penghambaan ini. Ia tidak lagi diperjualbelikan karena penguasa atas tubuh dan jiwanya hanyalah Allah semata. Manusia yang dahulu tersiksa oleh cambukan tuannya, kini ia tersiksa oleh kerinduan terhadapNya. Ia tersiksa oleh dera rindu terhadap Sang Kekasih. Ia diperbudak oleh Cinta Allah.
Dekonstruksi makna budak dihadirkan sebagai bentuk dari sebuah pengakuan spiritual bahwa ia berada dalam genggaman absolut Allah Yang Maha Penyayang. Dia menjadikan budakNya dengan kelembutan dan kasih-sayang. Kini manusia adalah hamba yang merdeka atas fana dunia, dan ia kini hanya terikat oleh rahman, rahim, dan rahmat Tuhannya. Manusia adalah hamba atau budak dari Sang Pemilik Cahaya.
Sebagai hamba, manusia berkejaran untuk mendekat pada Cahaya Tuhan. Relasi transenden antara dirinya dan Allah mengakibatkan manusia menjadi budak yang mulia. Hubungan transenden imanen ini membedakannya ketika ia berada dalam masa perbudakan oleh manusia. Ketika seseorang menjadi dekat dengan Tuhan, ia akan berbeda dengan yang lain. Ia menerima limpahan Cahaya Tuhan paling terang, dan ketika ia berdiri menjauhi Tuhan maka ia berada dalam kegelapan.
Allah Sang Pemilik dan Penguasa mencurahkan segenap cahaya rahman dan rahimNya kepada manusia. Ia budak yang begitu menderita ketika ia jauh dari Sang Pemilik, Allah. Ia yang terikat dan tak ingin lari dari Tuhannya. Ketika ia diperbudak manusia ia berupaya lari menjauh, tetapi ia kini semakin mendekat dengan Allah Sang Pemilik Semesta.
Proses dehumanisasi oleh perbedaan ras, kultur, sejatinya hilang oleh hadirnya cinta Sang Illahi. Kini muncul kembali proses perbudakan yang tetap menghadirkan penindasan akan kebebasan manusia. Ia hadir perbudakan harta juga tahta. Kekuasaan mampu memperbudak manusia, ia menindas dan menjauhkan manusia hingga berjarak dari Cinta Allah. Pernyataan “aku” yang ada dalam diriku sesungguhnya hanyalah bentuk dari arogansi diriku untuk menguasai orang lain. Pernyataan “aku” adalah produk dari keangkuhan kehendak untuk menundukkan, dan jika perlu mengeksploitasi orang lain.
Apa hakikat “aku” jika ternyata dulu aku tak ada dan nanti aku akan hilang dan digantikan oleh “aku” yang lain? Aku ini hanya hadir pada masa ini, aku hanyalah wujud masa kini dan bukan di masa lalu ataupun masa depan. Apa yang hendak ditunjukkan bahkan dibanggakan oleh “aku” ketika “AKU” hadir dihadapan? Apakah yang dapat kutunjukkan dengan membusung dada ketika “AKU” bertemu “aku”? “aku” yang kecil ini ada karena ada “AKU” Yang Besar dan sepenuhnya menguasaiku. Hendak berlari, bersembunyi dalam benteng kokoh, “AKU” selalu mampu melihat eksistensiku. Aku bukan siapa-siapa dihadapan “AKU” Yang Maha Besar. Aku dengan segala ilmu dan kekayaan, semua hanyalah kisaran fana, karena yang sejati itu hanyalah “AKU”.
Begitu banyak manusia tersihir oleh perbudakan ego, Ia menjadi budak atas dunianya. Ia yang telah dimerdekakan oleh Tuhan, kini menjadi budak kekuasaan juga harta hingga acapkali menukar kasih sayang Allah dengan fana dunia. Dunia yang sejatinya ia pijak, kini berganti ia yang terpijak oleh dunia. Ia bukan budak dan tuan atas makhluk apapun, bahkan ia bukan budak dan tuan atas akalnya sekalipun. Kita tak memiliki keakuan itu, karena hakikat “aku” adalah ketiadaan, karena “aku” hanyalah serpihan bayang-bayang.
Penulis adalah Dosen Tetap Program Magister Hukum Universitas Al Azhar. Dosen tidak tetap pada Program Magister Hukum Universitas Esa Unggul dan STKIP Arrahmaniyah. Co-Founder Forum Internalisasi Nilai-Nilai Kebangsaan (FORNIKA), Founder-Peneliti pada Islamadina Institute.